zwani.com myspace graphic comments
SELAMAT DATANG PARA PENGUNJUNG, TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA, INI ADALAH SEBUAH BLOG TENTANG PULAU SIMEULUE - NAD...SEMOGA BLOG INI BISA BERMAMFAAT BAGI KITA SEMUA.SALAM DARI SAYA...WAHID PUTRA SIMEULUE

Nandong Simeulue

Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL)

Diambil dari Depdiknas. 2008 A.Pengertian

Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain. Sumber lain mengatakan bahwa Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah (Dedidwitagama,2007). Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Keunggulan Lokal (KL) adalah suatu proses dan realisasi peningkatan nilai dari suatu potensi daerah sehingga menjadi produk/jasa atau karya lain yang bernilai tinggi, bersifat unik dan memiliki keunggulan komparatif.

Keunggulan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah adalah potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah. Sebagai contoh potensi kota Batu Jawa Timur, memiliki potensi budi daya apel dan pariwisata. Pemerintah dan masyarakat kota Batu dapat melakukan sejumlah upaya dan program, agar potensi tersebut dapat diangkat menjadi keunggulan lokal kota Batu sehingga ekonomi di wilayah kota Batu dan sekitarnya dapat berkembang dengan baik.

Kualitas dari proses dan realisasi keunggulan lokal tersebut sangat dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia, yang lebih dikenal dengan istilah 7 M, yaitu Man, Money, Machine, Material, Methode, Marketing and Management. Jika sumber daya yang diperlukan bisa dipenuhi, maka proses dan realisasi tersebut akan memberikan hasil yang bagus, dan demikian sebaliknya. Di samping dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia, proses dan realisasi keunggulan lokal juga harus memperhatikan kondisi pasar, para pesaing, substitusi (bahan pengganti) dan perkembangan IPTEK, khususnya perkembangan teknologi. Proses dan realisasi tersebut akan menghasilkan produk akhir sebagai keunggulan lokal yang mungkin berbentuk produk (barang/jasa) dan atau budaya yang bernilai tinggi, memiliki keunggulan komparatif, dan unik.

Dari pengertian keunggulan lokal tersebut diatas maka Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL) di SMA adalah pendidikan/program pembelajaran yang diselenggarakan pada SMA sesuai dengan kebutuhan daerah, dengan memanfaatkan berbagai sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, budaya, historis dan potensi daerah lainnya yang bermanfaat dalam proses pengembangan kompetensi sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik.

B. Potensi Keunggulan Lokal

Konsep pengembangan keunggulan lokal diinspirasikan dari berbagai potensi, yaitu potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), geografis, budaya dan historis. Uraian masing-masing sebagai berikut.

1. Potensi Sumber Daya Alam

Sumber daya alam (SDA) adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk berbagai kepentingan hidup. Contoh bidang pertanian: padi, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran dll.; bidang perkebunan: karet, tebu, tembakau, sawit, coklat dll.; bidang peternakan: unggas, kambing, sapi dll.; bidang perikanan: ikan laut, ikan air tawar, rumput laut, tambak, dll. Contoh lain misalnya di provinsi Jawa Timur memiliki keunggulan komparatif dan keragaman komoditas hortikultura buah-buahan yang spesifik, dengan jumlah lokasi ribuan hektar yang hampir tersebar di seluruh di wilayah kabupaten/kota. Keunggulan lokal ini akan lebih cepat berkembang, jika dikaitkan dengan konsep pembangunan agropolitan (Teropong Edisi 21, Mei-Juni 2005, h. 24). Agropolitan merupakan pendekatan pembangunan bottom-up untuk mencapai kesejahteraan dan pemerataan pendapatan yang lebih cepat, pada suatu wilayah atau daerah tertentu, dibanding strategi pusat pertumbuhan (growth pole).

2. Potensi Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia (SDM) didefinisikan sebagai manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menjadi makhluk sosial yang adaptif dan transformatif dan mampu mendayaguna- kan potensi alam di sekitarnya secara seimbang dan berkesinambungan (Wikipedia, 2006). Pengertian adaptif artinya mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK dan perubahan sosial budaya. Bangsa Jepang, karena biasa diguncang gempa merupakan bangsa yang unggul dalam menghadapi gempa, sehingga cara hidup, sistem arsitektur yang dipilihnya sudah diadaptasikan bagi risiko menghadapi gempa. Kearifan lokal (indigenous wisdom) semacam ini agaknya juga dimiliki oleh penduduk pulau Simeulue di Aceh, saat tsunami datang yang ditandai dengan penurunan secara tajam dan mendadak muka air laut, banyak ikan bergelimpangan menggelepar, mereka tidak turun terlena mencari ikan, namun justru terbirit-birit lari ke tempat yang lebih tinggi, sehingga selamat dari murka tsunami. Pengertian transformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan dan mengembangkan seluruh pengalaman dari kontak sosialnya dan kontaknya dengan fenomena alam, bagi kemaslahatan dirinya di masa depan, sehingga yang bersangkutan merupakan makhluk sosial yang berkembang berkesinambungan.

SDM merupakan penentu semua potensi keunggulan lokal. SDM sebagai sumber daya, bisa bermakna positif dan negatif, tergantung kepada paradigma, kultur dan etos kerja.Dengan kata lain tidak ada realisasi dan implementasi konsep keunggulan lokal tanpa melibatkan dan memposisikan manusia dalam proses pencapaian keunggulan. SDM dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas SDA, mencirikan identitas budaya, mewarnai sebaran geografis, dan dapat berpengaruh secara timbal balik kepada kondisi geologi, hidrologi dan klimatologi setempat akibat pilihan aktivitasnya, serta memiliki latar sejarah tertentu yang khas. Pada masa awal peradaban, saat manusia masih amat tergantung kepada alam, ketergantungannya yang besar terhadap air telah menyebabkan munculnya peradaban pertama di sekitar aliran sungai besar yang subur.

3. Potensi Geografis

Objek geografi antara lain meliputi, objek formal dan objek material. Objek formal geografi adalah fenomena geosfer yang terdiri dari, atmosfer bumi, cuaca dan iklim, litosfer, hidrosfer, biosfer (lapisan kehidupan fauna dan flora), dan antroposfer (lapisan manusia yang merupakan tema sentral). Sidney dan Mulkerne (Tim Geografi Jakarta, 2004) mengemukakan bahwa geografi adalah ilmu tentang bumi dan kehidupan yang ada di atasnya. Pendekatan studi geografi bersifat khas. Pengkajian keunggulan lokal dari aspek geografi dengan demikian perlu memperhatikan pendekatan studi geografi. Pendekatan itu meliputi; (1) pendekatan keruangan (spatial approach), (2) pendekatan lingkungan (ecological approach) dan (3) pendekatan kompleks wilayah (integrated approach). Pendekatan keruangan mencoba mengkaji adanya perbedaan tempat melalui penggambaran letak distribusi, relasi dan inter-relasinya. Pendekatan lingkungan berdasarkan interaksi organisme dengan lingkungannya, sedangkan pendekatan kompleks wilayah memadukan kedua pendekatan tersebut.

Tentu saja tidak semua objek dan fenomena geografi berkait dengan konsep keunggulan lokal, karena keunggulan lokal dicirikan oleh nilai guna fenomena geografis bagi kehidupan dan penghidupan yang memiliki, dampak ekonomis dan pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Contoh tentang angina fohn yang merupakan bagian dari iklim dan cuaca sebagai fenomena geografis di atmosfer. Angin fohn adalah angin jatuh yang sifatnya panas dan kering. terjadi karena udara yang mengandung uap air gerakannya terhalang oleh gunung atau pegunungan. Contoh angin fohn di Indonesia adalah angin Kumbang di wilayah Cirebon dan Tegal karena pengaruh Gunung Slamet, angin Gending di wilayah Probolinggo yang terjadi karena pengaruh gunung Lamongan dan pegunungan Tengger, angin Bohorok di daerah Deli, Sumatera Utara karena pengaruh pegunungan Bukit Barisan.

eperti diketahui angin semacam itu menciptakan keunggulan lokal Sumber Daya Alam, yang umumnya berupa tanaman tembakau, bahkan tembakau Deli berkualitas prima dan disukai sebagai bahan rokok cerutu. Semboyan Kota Probolinggo sebagai kota Bayuangga (bayu = angin, anggur dan mangga) sebagai proklamasi keunggulan lokal tidak lepas dari dampak positif angin Gending.

4. Potensi Budaya

Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik, masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme yang pada hakekatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya. Ciri khas budaya masing-masing daerah tertentu (yang berbeda dengan daerah lain) merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga menjadi keunggulan lokal. Beberapa contoh keunggulan lokal menghargai kebudayaan setempat yaitu upacara Ngaben di Bali, Malam Bainai di Sumatera Barat, Sekatenan di Yogyakarta dan Solo dan upacara adat perkawinan di berbagai daerah.

Sebagai ilustrasi dari keunggulan lokal yang diinspirasi oleh budaya, misalnya di Kabupaten Jombang Jawa Timur, telah dikenal antara lain:

* Teater “Tombo Ati” (Ainun Najib)
* Musik Albanjari (Hadrah)
* Kesenian Ludruk Besutan
* Ritualisasi Wisuda Sinden (Sendang Beji)

5. Potensi Historis

Keunggulan lokal dalam konsep historis merupakan potensi sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda purbakala maupun tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini. Konsep historis jika dioptimalkan pengelolaannya akan menjadi tujuan wisata yang bisa menjadi asset, bahkan menjadi keunggulan lokal dari suatu daerah tertentu. Pada potensi ini, diperlukan akulturasi terhadap nilai-nilai tradisional dengan memberi kultural baru agar terjadi perpaduan antara kepentingan tradisional dan kepentingan modern, sehingga aset atau potensi sejarah bisa menjadi aset/potensi keunggulan lokal.

Salah satu contoh keunggulan lokal yang diinspirasi oleh potensi sejarah, adalah tentang kebesaran “Kerajaan Majapahit”, antara lain : Pemerintah Kabupaten Mojokerto secara rutin menyelenggarakan Perkawinan ala Majapahit sebagai acara resmi yang disosilaisasikan kepada masyarakat;


Peranan Penanaman Modal Dalam Pembangunan Di Daerah Kabupaten Simeulue (Studi : Di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Simeulue)
Category/Subject: Student Papers / Law / General
Keyword: Penanaman Modal
Creator: Sul Ikhwan

Description (Indonesia):
Kabupaten Simeulue merupakan daerah yang banyak membutuhkan dana untuk meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonominya. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh daerah, Kabupaten Simeulue telah melakukan upaya- upaya untuk memberdayakan peran penanaman modal di daerah. Penelitian ini mengangkat permasalahan sebagai berikut : Bagaimana kebijakan pemerintah daerah kabupaten Simeulue, bagaimana pengaruh penanaman modal dalam pembangunan di kabupaten Simeulue, apa pengaruh penanaman modal terhadap pertumbuhan perekonomian di kabupaten Simeulue; dan apa perlunya penanaman modal di kabupaten Simeulue. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, dengan cara melakukan penelaahan terhdap bahan-bahan penelitian yang bersumber dari data-data primer dan data skunder. Pelaksanaan pembangunan di daerah kabupaten Simeulue berjalan sedikit lambat dari daerah-daerah lainnya. Kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan di kabupaten Simeulue adalah masih rendahnya pendapatan yang digunakan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Masih kurangnya penerimaan daerah disebabkan karena belum banyak berkembang kagiatan usaha atau penanaman modal di daerah itu. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa pemerintah daerah Kabupaten Simeulue telah berupaya untuk mendatangkan investor ke daerah dengan melakukan perbaikan infrastruktur jalan, perbaikan sarana transportasi, baik transportasi laut maupun transportasi udara, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mendirikan Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) sebagai upaya untuk mendorong masuknya penanaman modal ke daerah. Ada beberapa faktor yang mendukung pelaksanaan penanaman modal di daerah yaitu potensi sumber daya alam, kemudahan yang diberikan kepada pihak penanam modal, jaminan keaman serta sikap masyarakat daerahnya yang tidak fanatik. Penghambat penanaman modal di daerah tersebut yaitu masalah infrasstruktur, masih rendahnya jaminan kepastian hukum, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan kemampuan pemerintah daerah untuk memberdayakan investasi. Penanaman modal sangat brpengaruh terhadap pembangunan di daerah, dimana tidak adanya kegiatan penanaman modal menyebabkan rendahnya penerimaan daerah, sehingga pemabngunan berjalan lambat. Penanaman modal juga belum memegang peranan penting dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.






Harapan Anak Pulau
Wednesday, 12 November 2008 05:40

O, Simeulue di tengah samudra, bilakah nasibmu sejahtera, bilakah perahu, riak dan gelombang laut membantu, bilakah warna warni terumbu karang dan ikan akan membawa warna kemapanan pendudukmu? Mintalah jawaban pada sang pemimpin, buktikan bahwa Simeulue punya pimpinan, jangan biarkan Simeulue hanya mengadu pada angin laut. Angin laut takkan bisa menjawabnya.

[Komuditi Khas Pulau Simeulue]

Komuditi Khas Pulau Simeulue
bila kita menumpang Feri dari Labuhan Haji, menyebrangi samudra menuju pulau cengkeh ini, 8-9 jam kita baru berlabuh di pelabuhan Simeulu. Bila dari Meulaboh, 12 jam baru mendarat. 70 persen penduduk Kabupaten Kepulauan Simeulue yang dipimpin Drs Darmili ini masih dibalut kemiskinan. Ancaman ada di depan, bila NGO dan BRR hengkang dari pulau cengkeh itu, pengangguran meningkat dan kriminalitas pun menjamur. Urbanisasi penduduk Simeulue ke luar pulau itu pun mungkin tak terelakkan. Sementara akses pendukung loading penjualan hasil bumi Simeulue keluar daerah kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Simeulue.

Sekeping Asa
Dari hari ke hari, nasib 3600 nelayan Simeulue dan pulau kecil sekitarnya kian terpuruk. Mereka hanya mengandalkan mata pancing dan perahu tua. Hasil tangkapan pun tak memadai untuk kehidupan layaknya manusia. Padahal mereka hidup di negara yang lebih 63 tahun merdeka ini. Tanpa fasilitas cukup, mereka terpaksa merelakan ikan laut Simeulue dikuras habis oleh nelayan luar. Ikan-ikan yang seharusnya jatah mereka dijual ke daratan Sumatera atau daerah lainnya.

Di balik itu, ada juga pihak lain seperti pemerintah dan donatur mewacanakan bantuan untuk nelayan. Namun wacana yang dilanjutkan dengan menyalurkan bantuan itu, tanpa disertai solusi pemasaran akhir. Sehingga tersebutlah ungkapan, “Prospek perikanan di Simeulue hanya jalan di tempat.”

“Kami tidak sering dapat ikan, karena hanya mengandalkan alat tangkap tradisional. Kami pun masih menjual ikan secara tradisional, yakni menjual ikan hasil pancingan pada tetangga rumah atau tetangga kampong. Bagaimana nasib kami, kapan nelayan ini bisa bangkit. Kami hanya dapat ikan banyak saat musim ikan, namun ketika banyak begitu, tak tahu ke mana kami jual,” keluh Kaharaman, (52) warga Gampong Tanjung Raya, Kecamatan Teluk Dalam.

Lelaki itu mengaku tidak tamat Sekolah Dasar. Putra pertamanya menjadi korban keganasan gelombang Tsunami 26 Desember 2004 di Ibu Kota Aceh. Selain memancing setiap harinya, ia mengadu nasib dengan menjadi sopir becak mesin. Ia tidak mendapat perahu bantuan maupun rumah bantuan. Ia pikir, bagaimana kalau uang dana takziah yang dihamburkan BRR untuk seminar atau membuat tsunami pura-pura untuk beli perahu untuknya. Namun, ia sadar, ia tak punya saudara dalam jajaran pengurus dana sedekah itu.

Ia mengenang masa kecilnya. Dulu, ia keluar sekolah karena tak memiliki biaya. Kalau sekolah, ia tak punya uang untuk beli makanan. Ia memilih memancing untuk menyabung hidupnya. Namun, setelah sekian tahun menggeluti dunia memancing, ia belum bisa memakmurkan dirinya. Bahkan, sampai kini, ia telah mememiliki cucu. Tapi taraf hidupnya tak juga naik. Ternyata hasil memancingnya dengan alat tangkap pancing tradisional hanya menuai untung-untungan.

Di antara 3000 nelayan tetap di pulau Samudra Hindia itu, ada M Kusai, Warga Labuhan Bakti, Kecamatan Teupah Selatan yang berjuang mengarungi ombak, mengandalkan perahu untuk mengasapi dapurnya setiap hari.

“Sebelum ke laut atau memancing, kami mesti mengutang dulu di kios-kios. Mengharapkan Tuhan mengirimkan rezeki untuk kami di laut. Kami gak mengharap banyak, asal bisa tertutup hutang aja. Kalau untuk hasil lebih, jangan harap,” desah Kusai, yang beruntung mendapat rumah bantuan. Namun untuk bantuan perlengkapan memancing, ia hanya tercatat dalam daftar tunggu yang entah kapan mendapat bagian.

Kedua nelayan tadi masih beruntung ada perahu tradisional, sedangkan Saharuddin,60, warga Suka Maju, Kota Sinabang, Kecamatan Simeulue Timur, bernasib lebih sengsara dari kedua temannya tadi. Lelaki bertubuh kurus yang kulitnya hitam legam itu, setiap hari bergelut dengan terik matahari, air asin, dan ganasnya gelombang laut.

Ia potret nelayan yang terpaksa meminjam perahu dayung temannya yang kebetulan tidak melaut. “Saya sudah tua, jadi tidak sanggup lagi membuat perahu yang baru. Terpaksa saya pinjam parahu dayung teman. Sebenarnya saya ingin sekali mendapatkan bantuan alat memancing, tapi karena saya tidak mengerti urusan proposal, maka tidak pernah dapat. Jadi beginilah nasib saya,” keluh lelaki yang tidak memiliki anak tersebut.

Program bidang Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Simeulue hanya berjalan di tempat, hanya sebatas wacana atau serahkan bantuan tidak tepat sasaran. Masaalah nelayan ditambah lagi kala hasil tangkapan ikan mereka membludak, tidak dapat dipasarkan atau ditampung oleh pemerintah setempat. Ternyata, melimpahnya potensi Perikanan dan sumber daya alam lainnya tanpa disertai solusi akhir. Sumber Daya Manusia dan Sumber daya alam di sana sedang disia-siakan.

Geografis dan Perkembangan Ekonomi
Laut Simeulue berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, Hindia dan perairan dunia yang menjadi lintasan jalur pelayaran internasional, 105 mil dari Meulaboh Aceh Barat, 85 mil dari Tapak Tuan Aceh Selatan. Pulau Simeulue memiliki panjang 100,2 km, lebar 8-12 km dan 212.512 ha. Sedangkan 14.491 ha lagi tersebar pada pulau-pulau lain, yakni: Siumat, Panjang, Batu Berlayar, Teupah, Tepi, Ina, Alafalu, Mincau, Simeulue Cut, Pinang, Dara, Langgeni, Linggam, Lekon, Selaut, Silauik, Penyu, Tinggi, Kecil, Khala-khala, Asu, Babi, dan Lasia serta pulau-pulau kecil lainnya.

Pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi Sektor Perikanan di Kabupaten Simeulue yang dikelilingi laut nan dalam kian meningkat. Kabupaten yang memiliki beberapa pulau dengan ekosistem biota laut yang sangat banyak itu pun mempunyai potensi bahari lain. Ragam potensinya bisa mendongkrak Pendapatan Asli Daerah maupun ekonomi masyarakat, khususnya bagi nelayan pulau yang berjuluk pulau penghasil cengkeh terbesar di Tanah Rencong ini.

Luas areal perikanan tangkap di laut yang hampir mencakup seluruh laut yang menggelilingi pulau Simeulue hingga ke perbatasan jalur pelayaran internasional. Areal produktif budidaya ikan tawar mencakup 3384.7 ha dan budidaya rumput laut, sampai saat ini belum membawakan hasil yang maksimal bisa mendongkrak taraf hidup Nelayan.

Nelayan dan Ikan
Nelayan tetap di Simeulu ada 3000 orang, dan nelayan tidak tetap 600 orang. Nelayan tak tetap itu berdomisili di delapan kecamatan, yakni: Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Simeulue Barat, Teluk Dalam, Salang, Teupah Barat, Teupah Selatan dan Kecamatan Alafan. Hasil tangkapan ikan basah, lobster dan tripang para nelayan itu baru mencapai 6.572.5 ton pertahun. Sedangkan produksi budidaya ikan tawar mencapai 9 ton pertahun. Untuk ikan laut maupun ikan tawar yang diolah dan dipasarkan dalam Kabupaten Simeulue mencapai 48.715 kg pertahun.

Dari 3000 lebih nelayan Simeulue, yang memiliki armada tangkap unit perahu dayung 1.711 orang, perahu jenis robin atau Honda 1.700 unit, Boat 1-5 GT 162 unit, Boat 5-10 GT 9 unit. Alat tangkap 10-15 GT belum dimiliki oleh nelayan. Namun, dengan alat tangkap dan luasnya areal penangkapan ikan yang tersedia di perairan Pulau Simeulue, ternyata penghasilan nelayannya tidak maksimal seperti yang diharapakan. Peningkatan taraf ekonomi para nelayan itu masih jalan di tempat.

Miss Komunikasi Bantuan
Factor lain jalan ditempatnya sector perikanan di Kabupaten Simeulue, dipicu setelah Pemda atau NGO. Mereka menyerahkan berbagai bantuan untuk nelayan, namun tidak dibina dan dibimbing hingga membawa kesejahteraan. Malahan indikasi bantuan tersebut, hanya dinikmati oleh orang yang ‘dekat’ dengan pemberi bantuan. Inilah yang menimbulkan kesenjangan atau api dalam sekam di pulau tengah samudra sana.

Mohammad Azis, Koordinator Solidaritas Anti Korupsi Simeulue (SAKSI) mengaku, “Kita sangat bersyukur dengan mengalirnya setiap bantuan, tapi sampai saat ini, saya melihat bantuan hanya sebatas wacana, lalu diserahkan, kemudian tinggalkan. Bantuan itu tanpa didampingi oleh pihak terkait sampai unsaha berkat fasilitas bantuan mereka berhasil dan meningkatkan income para nelayan. Jangankan mengurus sampai nelayan itu sejahtra, malahan yang kebagian bantuan tersebut hanya orang dekat pengelola dana itu, yang dinilai mampu hidup layak tanpa bantuaan itu. Jadi tidak salah kita menilai perikanan di Simeulue hanya jalan dtempat” ungkap Azis.

Firdi Yuni Puji ST, Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue mengaku, “Kita tetap mendampingi dan mesosialisasikan setiap bantuan dan potensi Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia terutama Nelayan Tetap. Tapi di lapangan, kita sering berbenturan dengan mekanisme masyarakat setempat. Seringnya donatur lain menyerahkan bantuan tanpa kordinasi dengan pihak kita. Maka bila sudah timbul masaalah, kita dijadikan kambing hitam oleh nelayan, sementara pihak donatur telah pergi entah kemana,” ungkap Firdi.

Lahok Sang Primadona
Lobster (lahok) merupakan hasil laut primadona kebanggaan Simeulue yang mempunyai nilai jual ekonomis tinggi. Kini lahok hanya dikelola olehg orang yang mempunyai modal besar. Sementara nelayan hanya sebagai penggarap biasa. Harga lobster mengikuti mata uang Dolar Amerika Serikat. Mulai dari harga Rp 100.000-400.000/kg, dengan pangsa pasar Jakarta dan Luar Negeri. Lahok pun menjadi cenderamata atau menu makanan utama bagi tamu dan pejabat dalam Negeri maupun Luar Negeri yang datang ke pulau itu.

“Lahok adalah tanda Pulau Simeulue, jadi, jika ke Simeulue, namun belum makan lobster, artinya belum diakui pernah ke Simeulue.” Ungkapan tersebut adalah sapaan warga Simeulue kepada setiap orang luar yang berkunjung ke Pulau di tengah Samudra hindia itu.

Ungkapan ibu bukan sekedar basa-basi, namun dibuktikan dalam Rekapitulasi PAD Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue per tahun 2007. Lobster hidup 9.8895 ton, lobster mati 1.536 ton, ikan segar 21.095 ton, tripang 7.455 ton, lolak 1.789 ton, ikan hidup 3.499 ton, dan sirip hiu 0.02 ton. Total PAD dari sktor perikanan mencapai Rp 52.071.500. hasil itu, bila dibandingkan dengan PAD dan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang tersedia pada Pulau di Tengah Samudera Hindia tersebut, baru mencapai 37,71 persen. Bayangkan bila mencapai seratus persen!

Jumlah Penduduk dan Tapal Batas
Menurut data tahun 1996 populasi penduduk mencapai 81.596 jiwa atau 18.152 KK. Kini, bisa diprediksikan bertambah sepuluh persen, yakni, di atas 90.000 jiwa. Penganut agama Islam mencapai 78.189 persen, selebihnya Kristen dan

Penghasilan unggulan masyarakat seperti, cengkeh, kelapa, kakao, karet, pinang, pala. Buah sawit masih dikelola oleh Pemerintah Daerah, namun belum maksimal.

Sedangkan sektor perikanan masih jalan di tempat, belum bisa mendongkrak perekonomian nelayan, kendati hanya untuk kebutuhan sehari-hari.

Sector Industri konvensional dan rumah tangga masih sangat minim, hanya untuk keperluan sehari-hari. Bidang pertanian, seperti padi sawah masih mengandalkan sistim tadah hujan, dan swasembada pangan masih sebatas wacana. Beras masih didatangkan dari luar Kabupaten Simeulue.

Batas wilayah 105 mil laut dari Meulaboh kabupaten Aceh Barat, 85 mil dari Tapak Tuan Aceh Selatan. Panjang pulau simeulue 100,2 km, lebar 8-28 km, luas secara keseluruhan mencapai 198.021 ha. 135 Gampong, 8 Kecamatan, Simeulue Timur, Simeulue Barat, Simeulue Tengah, Teupah Barat, Teupah Selatan, Salang, Teluk Dalam dan Alafan.

Suku asli yang mendiami pulau penghasil cengkeh terbesar di provinsi Aceh tersebut adalah, Dagang, Pamuncak, Abon, Lanteng dan Painang. Sedangkan suku lain yang berbaur seperti Aceh, Batak, Minang, Bugis dan Jawa. Bahasa yang dipakai adalah bahasa induk seperti Bahasa Simolol, Devayan, Sigulai, Leukon, Aneuk Jame, dan bahasa pengantar resmi bahasa Indonesia.

Jumlah kenderaan roda dua 5.150 unit, roda tiga 260 unit, roda empat 399 unit, roda 6 168 unit, roda sepuluh 97 unit, mobil dinas 83 unit, bus pelajar 5 unit dan angkutan umum 25 unit.

Bisakah Diandalkan?
Bila diberdayakan secara maksimal SDA dan SDM yang ada, bukan tidak mungkin sector Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Simeulue bisa setara dengan Negeri Matahari (Jepang), tapi sayangnya Pemerintah pulau itu hanya berorientasi pada sector perkebunan. Seandainya pemerintah Simeulue bersandar pada riaknya gelombang. Seandainya memfokus pada indahnya terumbu karang, seandainya dimamfaatkan SDA dan SDM yang berpotensi menyejahterakan rakyat pulau yang berjulukan Simeulue Ate Fulawan itu, tentu saja ceritanya lain.

Laut yang sudah menjajikan kesejahteraan saja tak dikelola, bagaimana mengembangkan yang lain. O, Simeulue di tengah samudra, bilakah nasibmu sejahtera, bilakah perahu, riak dan gelombang laut, bilakah warna warni terumbu karang dan ikan akan membawa warna kemapaman nelayan-nelayanmu…? Mintalah jawaban pada pemerintahmu, buktikan bahwa Simeulu punya pimpinan, jangan biarkan Simeulue hanya mengadu pada angin laut. Angin laut takkan bisa menjawabnya. [Oleh Ahmadi Ahmadi, Wartawan Harian Aceh]
Berita Terkait

Diposting oleh Imapa Cab.Jakarta Timur on Rabu, 10 Februari 2010
categories: edit post

0 komentar

Posting Komentar